Membicarakan masalah batik, kita tidak bisa lepas dari Kota Solo dan Yogya. Meski tidak ada yang bisa mengklaim asa usul batik, tetapi dua kota tersebut seakan sudah identik sebagai daerah penghasil kerajinan batik. Sebut saja Laweyan, sebuah kampung di Solo yang hingga kini dikenal sebagai kampung batik, adalah salah satu tonggak di mana kerajinan menggambar di atas kain mori ini terus ada dan berkembang di tengah masyarakat secara turun-temurun. Hal serupa juga ada di wilayah Mantrijeron Yogyakarta atau wilayah Yogyakarta bagian selatan seperti di Tirtodipuran, Prawirataman, Ngadinegaran, Jagakaryan, Mangkuyudan, dan sekitarnya yang setia bertahan menekuni budaya adiluhung dan melestarikannya hingga saat ini.
Kedua wilayah Yogya dan Solo saat ini memang tengah bergelut dengan kondisi jaman di mana batik sebagai hasil karya kerajinan kehalusan rasa dan karya manusia yang banyak memuat nilai-nilai filosofi ini mulai terpinggirkan. Dengan berbagai usaha dan strategi masyarakat di kedua wilayah ini tetap bertahan agar kerajinan batik tulis ini tetap ada dan hidup di tengah-tengah masyarakat. Salah satu strategi yang dapat dilakukan agar kerajinan batik ini tetap bertahan adalah dibentuknya paguyuban kampung batik.
Kondisi yang memprihatinkan pengrajin batik tulis saat ini tidak hanya dialami oleh pengusaha dan pengrajin batik di Yogya dan Solo, tetapi secara umum kondisi batik tulis seperti di Pekalongan atau daerah lain yang memiliki usaha sejenis pasti mengalami hal yang sama. Hidup segan, mati pun tak mau. Hal ini ditandai dengan semakin menyusutnya jumlah pengrajin batik dan tutupnya usaha-usaha batik. Misalnya di Laweyan yang sekitar tahun 1970-an, 90 persen masyarakatnya membatik kini hanya tinggal 10 persen saja. Itupun dengan kondisi yang tidak kondusif.
Kampung Batik Laweyan
Memasuki Kampoeng Batik Laweyan ini kita serasa dibawa memasuki lorong-lorong atau gang khas perkampungan keraton. Bangunan-bangunan tua khas keraton dengan tembok pagar yang tinggi menjadi daya tarik kampung Laweyan.
Di balik pagar tembok itu, kita akan melihat keagungan seni batik yang dikelola oleh masyarakat Laweyan. Karena di rumah itu kita akan dapat melihat proses pembuatan batik tulis sekaligus menikmati hasil karya para pengrajin batik di rumah-rumah tua antik yang didesain menjadi butik batik khas Laweyan.
Belanja di Kampung Batik Laweyan memang terasa khas. Aura jaman dulu masih sangat terasa. Paguyuban Kampung Batik Laweyan ini mempunyai obsesi besar menjadikan Kampung Laweyan menjadi kampung wisata seperti Ubud di Bali.
Kampung Batik Yogya
Tirtodipuran, Jagakaryan, Prawirataman, Ngadinegaran, Mangkuyudan, dan sekitarnya yang masuk wilayah Kecamatan Mantrijeron sejak jaman dulu dikenal sebagai kampung batik. Sebut saja di antaranya batik rara jonggrang, batik plenthong, batik surya kencana, batik seno, dan masih banyak lagi. Tidak jauh berbeda dengan kondisi kampung batik di Laweyan Solo, Kampung Batik Yogya kini juga tengah menggeliat untuk mengangkat batik menjadi tujuan wisata.
Untuk terus menarik wisatawan asing maupun domestik, pihaknya menggelar wisata batik dari proses pembuatan hingga memiliki produk batik. Dengan biaya sekitar Rp 25.000 setiap orang bisa praktek langsung membatik dan membawa hasil karyanya itu menjadi miliknya. Paket-paket seperti ini cukup diminati oleh para turis asing yang datang ke Kampung Batik Yogya.